“Saya punya stigma buruk pada pengikut agama Islam. Saya pikir, ketika ada oknum tertentu yang melakukan pengeboman rumah ibadah, semua umat Islam setuju, ternyata  tidak.”

Kalimat ini disampaikan Dominiks Denu, anak muda Dayak Katolik, peserta kegiatan Temu Pemuda Lintas Iman (Tepelima) Kalbar 2 yang diadakan tahun 2018.

temu pemuda lintas iman kalbar
Para Peserta Temu pemuda Lintas Iman ke-3 tahun 2021

Ketidaksetujuan itu diketahui Denu ketika melakukan diskusi di kegiatan Tepelima ke-2 yang diadakan tahun 2018 dan dikuatkan lagi ketika Denu menjadi panitia Tepelima ke-3 Pada Juni tahun 2021. Dua kali Denu mengikuti Tepelima, hal yang sama ditemukan Denu bahwa para peserta yang memiliki latar belakang Islam tidak menyetujui bahkan mengutuk pengeboman rumah ibadah agama apapun.

Denu merasakan perubahan dalam dirinya setelah mengikuti Tepelima, dengan memahami, dia merasa menjadi lebih toleran.

Bagaimana caranya punya sikap toleran? Pertanyaan ini sering ditanyakan baik di warung kopi dan forum-forum diskusi lainnya. Saya sendiri tak punya jawaban paling benar. Hanya saja dalam pengalaman banyak orang dan perjalanan bekerja di Suar Asa Khatulistiwa (SAKA), membuka ruang-ruang untuk saling ngobrol merupakan cara yang efektif.

Sejak 2018, Satu Dalam perbedaan (SADAP) Indonesia, sebuah perkumpulan anak muda menginisiasi program Temu Pemuda Lintas Iman (Tepelima) di Pontianak. Mengajak SAKA, Gusdurian Pontianak dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cab.Sei Raya untuk kolaborasi mengagendakan kegiatan ini.

Tahun ini adalah ketiga kalinya Tepelima diadakan, setelah sempat ditiadakan di 2020 mengingat adanya pandemi covid-19.

Tepelima didesain sebagai ruang pertemuan yang aman untuk anak-anak muda Kalbar bercerita terkait prasangka, stereotip yang pernah dialami karena perbedaan identitas. Terutama identitas agama dan suku. Peserta diminta membagikan pengalaman mereka sebagai pelaku, maupun korban.

Prasangka, stigma dan stereotip ada dalam diri kita, bisa karena diwariskan oleh keluarga, lingkungan atau over generalisasi pada orang lain.

Ruang pertemuan bisa terjadi di mana saja. Bisa di komplek perumahan, di sekolah, di kampus, di tempat kerja, di komunitas, terjadi secara alami. Tidak hanya lewat Tepelima. Sayangnya, ruang-ruang ini bisa menjadi bumerang ketika masing-masing individu tidak punya pikiran yang terbuka, sikap mau belajar dan berinteraksi dengan individu atau kelompok yang berbeda identitas.

Prasangka, stereotip yang dimiliki berkembang setelah memasuki ruang perjumpaan. Individu saling menjauh dan memusuhi di dalam hati. Meski tidak ada konflik secara fisik, dan keadaan terlihat baik-baik saja, belum tentu tidak ada masalah. Karen permasalahan sesungguhnya ada di dalam diri berupa ketakutan, kebencian, dendam, kecurigaan dan lainnya. John Galtung mendefinisikannya sebagai negative peace.

Sementara, damai yang ideal adalah positive peace. Damai dimaknai sebagai sebuah keadaan lebih dari sekadar tiadanya perang atau konflik. Namun, juga terwujudnya suasana tanpa praktik kekerasan dalam bentuk apa pun yang berbasis keadilan, persamaan, dan kesetaraan. Perdamaian yang positif selalu berkaitan dengan sikap yang menghasilkan dan menjamin perdamaian yang berkelanjutan.

Saya mewawancarai Dominikus Denu setelah mendengar Denu menceritakan terkait perubahan yang dia alami setelah mengikuti Tepelima 2.

“Nama saya Dominikus Denu, saya terlahir Katolik, suku asli saya Dayak. Saya tinggal di kampung yang mayoritas Dayak dan agama Katolik. Dulu, saya memandang agama lain itu salah dan aneh, apalagi agama Islam. Menurut saya dulu Islam itu sok suci, karena berpakaian yang aneh (Koko). Pandanganku, setiap ada orang asing yang melakukan kriminal seperti pengeboman atau dan lain-lainnya pasti saya anggap mereka Islam (over generalisasi-Pen), bukan kelompok tertentu. Saya memandang mereka negatif meskipun tidak terlalu mengenal mereka. Saat ini setelah saya masuk di tengah-tengah mereka, berteman dengan mereka, saya menganggap bahwa berteman dengan mereka lebih asik dibandingkan dengan sesama saya.”

Yang dilakukan Denu adalah over generalisasi. Kesalahan satu individu dianggap mewakili seluruh kelompok yang ada.

Inilah tujuan Tepelima dilaksanakan. Dimaksudkan sebagai ruang pertemuan, yang bisa menepis generaliisasi berlebihan yang ada dalam hati para peserta kemudian mengantarkan kita pada damai yang positif.

Denu bercerita, semasa SMP, ketika Denu mendengar berita adanya pengeboman, meskipun berita tersebut menyebutkan dilakukan oleh oknum ISIS, dalam pikiran Denu, ISIS merupakan Islam. Islam rese dengan agama lain sehingga melakukan pengeboman rumah ibadah lain, termasuk gereja.

temu pemuda lintas iman kalbar
Dominikus Denu (kanan) saat menjadi Panitia sebagai fotografer kegiatan Tepelima 3

Denu mengatakan memang tidak memiliki perubahan besar setelah mengikuti Tepelima, karena Denu suudah mengalami perjumpaan dengan identitas berbeda di SMA. Tetapi setelah mengikuti Tepelima, Denu lebih mampu untuk memproses berita yang ada. Ketika ada pengeboman, Denu tidak lagi menuduh agama Islam. Tetapi Denu akan mencari tahu lebih lanjut siapa oknum yang melakukan tindakan keji itu. Bahkan jika Denu mendengar anggapan bahwa Islam melakukan hal tersebut, Denu pasti memberikan pemahaman pada teman-temannya yang masih melakukan over generalisasi pada Islam.

“Saya memiliki cara membedakan oknum tertentu dengan agama. Itu perubahan yang saya alami setelah mengikuti Tepelima.” Denu tidak lagi menganggap agama yang salah dan merasa bingung mengapa dia dulu memiliki pemikiran demikian.

Denu juga mengatakan bahwa pada kegiatan Tepelima, panitia membimbing dengan cara yang sangat baik. “Panitianya berbaur dengan peserta dan tidak mengekang, tidak seperti kegiatan yang saya ikuti sebelumnya. Kita banyak ngobrol.”

Jika di sosial media, banyak pemuka agama yang menjelekkan agama lain. Di kegiatan Tepelima, Denu melihat sebaliknya. Para pemuka agama bahkan mendukung agama lain. Hal ini juga mengubah pandangan Denu terkait pemuka agama.

Tepelima memang membahas teori-teori terkait toleransi, prasangka, bagaimana berekspresi pada perbedaan. Tetapi porsinya sedikit.

Tepelima menjadi ruang pertemuan, ruang aman untuk bicara dan bercerita tanpa dirisak. Ruang ini memungkinkan kita untuk didengarkan dan dipahami agar pikiran terbuka, untuk kembali memahami orang lain. Hasilnya adalah prasangka yang bisa ditepis, seperti yang dialami oleh Dominikus Denu, Pemuda Dayak Katolik yang saat ini memiliki banyak teman Beragama Islam.

temu pemuda lintas iman kalbar
Para pesert Tepelima-3 ngobrol

Note: Artikel ini dipublikasi sudah atas persetujuan Dominikus Denu

Ditulis Oleh: Ningsih Sepniar Lumban Toruan