Penulis: Ila Laila, Homsah

Nama saya Laila, usia 19 tahun. Saya orang Madura yang tinggal di Desa Mekar Sari, Kabupaten Kubu Raya. Desa ini terpencil. Tempat relokasi korban konflik antar-etnis tahun 1999 di Kabupaten Sambas. Beragam etnis yang tinggal di Desa Mekarsari. Antara lain Melayu, Jawa, Madura, dan lainnya.

Sejak kecil saya memiliki hobi menari. Saya sangat suka menari di sela-sela jam kosong sepulang sekolah. Sejak SD, saya sudah mengikuti beragam lomba tari. Semasa saya menjadi siswa SMKN 2 Sungai Raya Hobi menari, saya mengikuti ekskul tari. Hobi saya menari semakin diasah.

Kala itu saya merasakan pengalaman berkesan. Pada suatu hari akan diadakan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia di Kantor Desa. Acara dimeriahkan dengan berbagai atraksi, seperti seni bela diri dan seni tari. Kepala Desa menghubungi guru, agar mempersiapkan siswa dan siswi menari di acara tersebut.

Tari harmoni kubu raya, keadilan transisi kalbar, perdamaian paska konflik
Laila dan teman-temannya yang sedang mencoba pakaian adat dengan peranan etnis suku yang sudah di tentukan. Ila Laila (kiri) mengenakan busana tari adat Dayak.

Kemudian guru menginformasikan kepada siswi kelas 3, untuk menyiapkan beberapa orang menampilkan tarian. Para siswi memilih untuk membawakan tarian ciri khas Kubu Raya, yakni “Tarian Harmoni Kubu Raya”. Tarian ini bertemakan harmonisasi enam etnis suku di Kubu Raya. Yakni Madura, Melayu, Jawa, Tionghoa, Dayak, dan Bugis.

Tiap siswi yang bakal tampil, memilih peran masing-masing dalam tarian. Saya dipilih untuk memerankan tarian Dayak. Alasannya karena muka saya yang sering kali dikatakan mirip dengan orang Dayak.

Setelah undangan menari tersebut, terus muncul tawaran lain agar kami membawakan Tari Harmoni Kubu Raya. Seperti saat perayaan Hari Ulang Tahun Desa Mekar Sari.

Meski bukan pengalaman pertama saya membawakan tarian Dayak, ternyata saya masih mendapati pandangan negatif dari masyarakat dan keluarga.

Reaksi negatif pertama yaitu dari ayah saya. Dia keberatan saya mengenakan pakaian dan menari Dayak. “La, mik anggui baju jiah? Ajiah kan baju ung oreng Dayak. Mik tak makek bajunah oreng Madureh beih”. Artinya “ La, kenapa pakai baju itu? Itu kan bajunya orang Dayak. Kenapa tidak pakai bajunya orang Madura saja?” katanya.

Ibu saya juga menyampaikan pendapat serupa. ”Tak iyeh mik pakek jiah Ila. Mik tak pakek diing reng Medureh beih”. Artinya “Itulah kenapa tidak pakai punya orang Madura saja”.

Kakek saya keheranan melihat saya mengenakan pakaian Dayak. “Sapah jiah? Ila tah? Mik pakek bajuk Dayak? Demmaah? Bedeh apah kennah? Mik tak pakek bajuk diing Medureh beih”. Artinya “Siapa itu? Ila kah? Kenapa pakai baju Dayak? Memangnya ada apa? Kenapa tidak pakai baju orang Madura saja”.

Tanggapan negatif lainnya saya dapati dari masyarakat sekitar. “Kite kellek ngejhit, sangghu sapah? Mik bedeh oreng Dayak e dinnak? Ghu taoh jek Ila. Arapah mik nari angkui baju ajiah? Mik tak makek baju diing oreng Medureh beih? Sengak jeh dekik eambek ejelen bik oreng, polannah kakeh angghui baju ajiah!” Artinya “Kita tadi kaget, kirain siapa. Kok ada orang Dayak di sini? Kalau tahu Ila, kenapa nari pakai baju itu? Kenapa tidak pakai baju punya orang Madura saja? Awas nanti kamu dihadang orang di jalan, karena kamu mengenakan pakaian itu!”

Meski banyak respon negatif, saya tak mengurungkan niat membawakan tarian Dayak. Saya berusaha memberi pemahaman kepada keluarga dan masyarakat, bahwa sangat penting menjaga toleransi. Saya berusaha menggunakan kata-kata yang baik untuk merespon keberatan yang mereka sampaikan.

Arapah? Tak sala engkok makek baju Dayak. Engkok kan karo nari. Benni ken norok otabeh apinda bhengsah. Ken meranaki tarian nah. Jek engkok olle pengalaman ben elmoh. Dheri ajiah engkok abelajar toleransi deri bhengsah laen. Toleransi jiah ngarkeyih bhengsah lain ngarkeyih agemah lain. Si mareh taonan cek engaen. Ajiah sebapeh akebeiyen tak maju, ben kite riah tak bisa odiek delem ketakok an. Mon kik takok tok tak kerah maju kite riah”. Artinya “Kenapa? Tidak salah saya pakai baju Dayak. Saya hanya nari, bukan ikut atau berpindah suku. Itupun saya dapat pengalaman dan ilmu. Dari itu saya belajar toleransi dari suku lain. Toleransi itu menghargai suku lain dan menghargai agama lain. Yang sudah bertahun-tahun jangan diingat. Itulah  penyebabnya yang tidak bisa maju, dan kita ini tidak bisa hidup dalam ketakutan (trauma). Kalau takut terus tidak akan pernah maju kita ini”.

Saya juga mengajak mereka berpikir logis. “Bang, makeh engkok makek kelambhih Dayak, tapeh engkok cinta ben pakkun oreng Medureh sampek mateh. Deri riah engkok abelajar. Bisa taoh artienah arngarkeyih bhengsah lain”. Artinya “ Bang, walaupun saya pakai baju Dayak, tapi saya cinta dan masih  tetap orang Madura sampai mati. Dari ini saya belajar dan punya pengalaman. Saya pakai baju ini, saya bisa tahu menghargai suku lain”.

Saya merasa penting mengajak mereka menghilangkan kecurigaan dan kekhawatiran antar-etnis. Agar tidak berdampak buruk kepada generasi berikutnya. (*)

Tari harmoni kubu raya, keadilan transisi kalbar, perdamaian paska konflik
Laila dan teman-temannya melakukan sesi foto bersama dengan semua suku yaitu: Madura, Melayu, Dayak, Cina, Jawa, Bugis yang saat itu mereka menggunakan pakaian adat masing-masing, dan dihadiri pula oleh Kepala desa dan aparatur lainnya.
Editor: Dian Lestari
Penulis merupakan Alumni Kelas Menulis untuk Keadilan Transisi yang diselenggarakan oleh Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) atas dukungan Global Initiative for Justice, Truth and Reconciliation (GIJTR).