Prasangka, stigma, dan stereotip negatif terhadap orang lain seringkali dilakukan tanpa disadari. Sikap tersebut bisa jadi lantaran mencontoh perilaku buruk teman, keluarga, dan lingkungan sekitar.

“Dulu waktu SMA aku ikut-ikutan kawan yang mendiskriminasi. Bilang ke kawan yang lain, eh jangan mau berteman sama orang itu. Dia kan dari suku itu. Pas kuliah aku sadar itu salah, ndak mau lagi kayak gitu,” kata Bima, satu di antara peserta Training of Trainer (ToT) Peer Facilitator Temu Pemuda Lintas Iman (Tepelima) di Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri (STAKatN) Pontianak pada Jumat (23/4/2021).
Kisah tentang prasangka dan stereotype negatif, dilontarkan peserta lainnya, Dedek Indah. Dia menceritakan pengalamannya saat liputan untuk membuat karya jurnalistik, mengenai seorang bapak yang melarang anaknya pacaran dan menikah dengan orang Madura. “Katanya laki-laki Madura itu kasar. Padahal kan tergantung orangnya,” tuturnya.

Dian lestari, kelola prasangka, artikel prasangka,
Dian Lestari dalam ToT Menjadi Peer Fasiltator yang Baik/ foto: Istimewa

Cerita Bima dan Indah tersebut menjadi bagian dari diskusi yang diampu Dian Lestari, pemateri ToT. “Dari dua cerita itu, terjadi over generalisasi atau penyamarataan berlebihan terhadap suku tertentu. Jika tidak segera diberi kesadaran, akan mengakibatkan eksploitasi sisi negatif dari keberagaman,” ujar dia.

Dian mengingatkan bahwa banyak keberagaman yang menjadi bagian dari identitas tiap orang, antara lain kemampuan ekonomi, agama, suku, latar belakang sosial, gender dan lain sebagainya. Keberagaman bisa menjadi ruang belajar sehingga bisa memperluas wawasan, transfer pengetahuan, dan meningkatkan kreativitas.
Akan tetapi, keberagaman memiliki sisi negatif yang kerap dieksploitasi oleh beberapa pihak untuk kepentingan politik, ekonomi, keinginan menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusia. “Eksploitasi sisi negatif dari keberagaman ini merupakan pembedaan, atau yang lebih familiar dikenal dengan istilah diskriminasi,” tutur Dian.
Dia memberi contoh ketika pada tahun 1997 hingga 1998 di mana terjadi kejatuhan Soeharto sebagai presiden.

cara menjadi fasilitator yang baik
Para pesert ToT Menjadi Peer Fasilitator yang Baik/ Foto : Istimewa 

Peristiwa ini menyebabkan adanya masalah besar di Indonesia. Ada kekosongan politik sehingga ada celah untuk untuk menguasai perpolitikan, perekononian, sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM). “Jangan percaya konflik terjadi hanya karena kita beda budaya atau pendapat. Konflik seperti bawang yang berlapis. Kalau ditelusuri sampai lapisan terdalam, kita akan melihat ada motif konflik, misalnya ingin menguasai SDA atau perebutan kekuatan politik,” papar Dian.

Hal-hal yang kerap muncul dari proses eksploitasi sisi negatif adalah stigma, stereotip, prasangka dan labelisasi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya tanpa mempertanyakan dengan kritis informasi yang diwariskan tersebut.

Dian mengingatkan, jika kita tidak merdeka dari stigma dan lainnya, maka perseteruan kecil yang terjadi antar individu dengan identitas yang berbeda bisa mengakibatkan konflik sosial. Konflik yang besar tentu akan merugikan semua pihak, terutama pada rasa aman yang tidak lagi kita miliki dalam hidup.
Demi mengelola keberagaman, Dian menyarankan agar dibuat ruang-ruang publik yang memungkinkan kita bercerita, bertanya dan saling terbuka memmbincang keberagaman identitas. (*)

Penulis : Nings Lumbantoruan

Editor : Dian Lestari