Bincang Demokrasi di Swiss Bersama Dian Lestari
Bincang Demokrasi di Swiss bersama Dian Lestari. Swiss adalah salah satu negara di dunia dengan taraf hidup penduduk yang sangat baik. Dian Lestari, Ketua AJI Pontianak periode 2017 – 2020 berkesempatan mengunjungi Swiss pada tahun 2016 dalam Fellowship pertukaran jurnalis Swiss dan negara lain. Kak Dian bercerita, setibanya di Swiss dia mengunjungi kota Jenewa dan Lausanne. Jarak Jenewa dan Lausanne diibaratkan sejauh Singkawang dan Pontianak.
Saat di Swiss, hal yang paling berkesan bagi Kak Dian adalah mengunjungi Grand Palais, yaitu gedung anggota DPR. Di Palais Kak dian bertemu dengan Partai Hijau. Diceritakan, partai ini merupakan partai yang fokus memperjuangkan isu Lingkungan. Partai Hijau salah satu partai kecil yang terdiri dari para aktivis yang membuat regulasi tentang aturan-aturan lingkungan meskipun regulasi yang mereka usulkan sering kali kalah atau ditolak.
Salah satu kemenangan kecil tetapi sangat berarti bagi Partai Hijau adalah mereka berhasil membuat aturan baru terkait minyak kelapa sawit. Minyak kelapa sawit di Swiss banyak digunakan untuk pembuatan coklat. Partai Hijau memprotes penulisan minyak sawit dalam kemasan coklat yang sering ditulis sebagai minyak sayur. Dan warga Swiss tidak tahu menahu bahwa kelapa sawit identik dengan perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM di negara eksportirnya.
Keunikan cara berdemokrasi di Swiss
Kak Dian Lestari melanjutkan bahwa Swiss merupakan negara yang sangat demokratis. Terbukti ketika berkunjung ke sana, Kak Dian menyaksikan sekelompok laki-laki berpakaian kuning sedang mengumpulkan petisi untuk memperjuangkan, dengan cara mengumpulkan suara untuk mengajukan regulasi yang mengatur hak cuti untuk seorang suami ketika istrinya melahirkan. Di Swiss, hak mengajukan dan menolak peraturan adalah hak setiap warga negara. Masyarakat bisa mengajukan, menentang atau mengkritik hukum yang diputus oleh parlemen, dengan cara mengumpulkan 50.000 tanda tangan dalam waktu 100 hari untuk menentang.
Menjadi Anggota DPR Swiss
Profesi aggota DPR di Swiss bukanlah suatu pekerjaan mewah seperti halnya di Indonesia. DPR bekerja sepenuhnya sebagai orang yang memegang mandat rakyat. Profesi yang bonafit di Swiss adalah petani, guru dan pekerja bank. Sistem negara ini memungkinkan hal tersebut terjadi. Lain halnya di Indonesia, belum pernah ditemukan petani yang menjadi anggota DPR karena DPR dianggap tidak berpendidikan tinggi dan akan kepentok modal nyaleg.
Anggota DPR di Indonesia bisa mengadakan rapat di gedung DPR untuk membuat UU dan lain-lain dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Berbeda dengan Swiss, dalam 1 tahun, anggota DPR hanya diwajibkan selama 2 bulan bulan untuk membahas berbagai peraturan. Selebihnya mereka kembali ke kehidupan dan profesi sehari-hari, kembali ke masyarakat dan tahu pelbagai masalah yang ada di masyarakat.
Regulasi yang berpihak pada petani Swiss sangat banyak. Anggaran terbesar negara Swiss dan insentif petani besar. Negara Swiss ingin mandiri pangan. Karena di negara 4 musim seperti Swiss, mereka akan kesusahan jika di musim dingin tidak ada stok pangan. Beda dengan tanah Indonesia yang diibaratkan bisa menyulap tongkat dan batu jadi makanan.
Media Adalah Milik Publik
Kak Dian juga berkesempatan meliput penggunaan data digital di Radio televisi Swiss yang merupakan media publik. Seluruh pendapatan radio ini merupakan iuran masyarakat. Karena itu, mereka sangat menjaga kualitas berita dan tidak mencari iklan. Semua berita dibuat berdasarkan kepentingan rakyat.
Media publik juga dimiliki beberapa negara lain seperti ABC di Australia, NHK Jepang, dan BBC Inggris yang menjaga independensi media. Di Indonesia juga terdapat media publik yaitu TVRI, tetapi bedanya, TVRI menggunakan anggaran negara, buka iuran rakyat dan tetap ada untuk kepentingan negara. “Pengalaman saya sebagai jurnalis agak sulit membuat berita yang berkualitas karena beberapa alasan seperti klik bait, iklan, dan lain-lain,” tambah Kak Dian.
Masyarakat Swiss terbuka dengan masyarakat Heterogen
Dari yang saya lihat, warga Swiss sangat terbuka, apalagi di kota Genewa. Negara Swiss sangat terbiasa dengan masyarakat heterogen. Sepanjang saya di sana, saya tidak hanya melihat orang Eropa, tetapi juga India, Afrika bahkan Indonesia, Arab, dll. Di kereta, saya juga mendengar beragam bahasa digunakan. Meski memang, sejak perang Suriah, Swiss hanya membuka sedikit ruang untuk imigran karena mereka tidak ingin repot-repot untuk mengurusi imigran, tetapi ini bukan karena persoalan diskriminasi. Orang-orang bebas berkerudung, tidak ada intimidasi. Masyarakat beragama, baik perantau dari Italia, Arab, dll, mendapatkan perlakuan yang sama.
Tulisan ini disarikan dari Bincang Sahabat SAKA#7 dengan Dian Lestari dengan judul ‘Demokrasi di Swiss Unik Loh. Kepo Dong!’ melalui live Instagram SAKA @SuarAsaKhatulistiwa pada 30/5/2020. Jangan lupa Follow Instagram SAKA untuk informasi bincang-bincang menarik lainnya.