Bangkit dari Keterpurukan, Membangun Asa Lewat Pendidikan
Penulis : Yamamah dan Maryatun Kibtiyah
Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Muhajirin merupakan perlambang asa yang terus dirawat para penyintas konflik antar-etnis tahun 1999, di Dusun Madani, Kabupaten Kubu Raya. Masyarakat yang pernah terpuruk, berupaya memajukan pendidikan generasi penerus.
Pada masa awal relokasi, orang Madura yang menjadi penyintas konflik, hidup dalam kondisi memprihatinkan. “Seluruh harta benda tak tersisa, dan harus memulai kembali semuanya dari awal,” cerita Masykuri, warga Madani, saat ditemui pada 16 November 2022, di kediamannya, Dusun Madani.
Dalam kondisi seperti itu, Masykuri mengamati umumnya orangtua hanya memprioritaskan pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan. Akibatnya pendidikan anak-anak terbengkalai.
Suatu hari di tempat pengungsian, Masykuri melihat anak-anak yang sedang bermain di sungai dan lapangan. Mereka tak bersekolah. Muncul pertanyaan dalam benak pria 50 tahun itu. “Dheddiah apah nak kanak riah mon pagghun ngak riah?”. Artinya “Mau jadi apa anak-anak penerus bangsa, jika terus menerus terjebak dalam situasi rumit ini?”.
Selain tak bersekolah, anak-anak itu sering mengalami tindak kekerasan verbal dan fisik. Orangtua mereka yang stress karena beratnya beban hidup, mudah meledak emosinya dan melampiaskan kemarahan kepada anak-anak.
Masykuri berpikir, tidak baik jika anak-anak dibiarkan merasakan dampak konflik. Masa depan mereka akan buram. Dia merasa bahwa membangun sekolah bisa menjadi cara untuk ke luar dari keterpurukan.
Masykuri mulai mencari siasat bagaimana caranya memulai rencana mendirikan sekolah. Dia mengajak orang-orang yang dianggap mampu membangun Pendidikan, seperti dari kalangan pelajar, santri, dan aktivis. Saat salat ke masjid, Masykuri memperhatikan gerak gerik orang-orang, yang sekiranya bisa diajak.
Setelah itu, dia mengajak Samsudin, Mustali, Sakyan, Johan, dan beberapa orang lain untuk bermusyawarah. Mereka membahas tentang pendidikan anak-anak korban konflik Sambas.
Kemudian mereka mengumumkan kepada warga pengungsi, bahwa akan dibuka sekolah di kawasan itu. “Ayuh ana’ang sapah se e pesekola’a, se toman asekolah data kelas berempah tak usa toron kelas. Mon se asekolah kelas tellok ye masok kelas tellok”. Artinya “Ayo anak siapa yang mau disekolahkan? Anak yang pernah sekolah akan didata kelas berapa. Tidak usah turun kelasnya,” kata Masykuri.
Ternyata warga sangat antusias semangat untuk menyekolahkan anak-anaknya. Hampir seratus persen anak-anak kembali bersekolah.
Masykuri dan kawan-kawannya mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Muhajirin. Lembaga pendidikan pertama yang berdiri di wilayah relokasi Madani.
Dengan kemampuan yang terbatas, Masykuri dan kawan-kawan seperjuangan mengumpulkan dana untuk sekolah. Mereka menyumbang Rp. 5.000/orang untuk membeli ATK seperti kapur, papan tulis, buku, pensil, dan lainnya. Selain itu Masykuri mengupayakan bantuan dana. Ketika mengikuti kegiatan di luar desa, dia menginformasikan bahwa membutuhkan sokongan dana untuk sekolah.
Masykuri ingin para siswa tak rendah diri. Dia mendorong mereka mengikuti aneka lomba ke luar Desa Madani. Harapannya, anak-anak bersemangat, keluar dari zona keterpurukan, dan bisa dikenal oleh masyarakat luas.
Masykuri menyadari bahwa pendidikan sangat penting bagi anak-anak penerus bangsa. “Cerahnya masa depan ditentukan oleh seberapa bagusnya pendidikan,” tuturnya.
Perlahan keadaan mulai membaik. Pikiran para pengungsi yang berkecamuk mulai mereda. Badai mulai berlalu hingga mau berdamai dengan masa lalu.
Masykuri bersyukur melihat perkembangan Desa Madani sangat pesat. Mulai dari perkembangan ekonomi, Pendidikan, dan hubungan sosial kemasyarakatan. Berkat perjuangan, doa dan tekad yang kuat dari para sesepuh di Desa Madani, mampu berdaya saing dengan masyarakat luar.
Dia menyadari, dari setiap kejadian ada hikmah besar yang bisa dipetik dan dijadikan pelajaran hidup. Di hati Masykuri, tidak lagi ada dendam tentang konflik. Dia merasakan pengalaman bertemu dengan orang baru, merasakan nasib yang sama, berjuang bersama untuk bangkit dari keterpurukan, dan kekacauan.
Masykuri merasa bahagia dan positive thingking kepada Tuhan, bahwa semua akan indah pada waktunya. Semua yang terjadi tak lepas dari campur tangan Tuhan dan warna-warni kehidupan. “Manusia hanya berencana, tapi Tuhan yang menakdirkan,” kata Masykuri. (*)
Editor: Dian Lestari
Penulis merupakan Alumni Kelas Menulis untuk Keadilan Transisi yang diselenggarakan oleh Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) atas dukungan Global Initiative for Justice, Truth and Reconciliation (GIJTR).