Pontianak memiliki masyarakat yang majemuk. Kondisi kemajemukan tersebut juga menyebabkan perbedaan kultural yang harus dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat kota Pontianak. Hal ini tercermin dalam pidato Edi Kamtono selaku Walikota Pontianak yang disampaikan oleh Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra, Yaya Maulidia, S.H., M.H. dalam kegiatan studi banding Virtual antara pemerintah kota Pontianak dengan Kota Salatiga.

yaya maulidia, kota pontianak, toleransi pontianak, studi banding virtual
Yaya Maulidia, Asisten I Pemerintahan dan Kesra Kota Pontianak menyampaikan sambutan dari Walikota Pontianak (Foto: Istimewa)

Pada kegiatan yang dilakukan dengan cara hybrid atau menggabungkan teknis daring dan luring ini, FKUB Salatiga membagikan pengalaman kerja yang sudah dilakukan dan berkontribusi untuk membangun kota Salatiga yang lebih toleran.

Ketua FKUB Salatiga mengatakan setiap tahunnya FKUB Salatiga belajar dan berkunjung ke setiap ke kota-kota yang toleran. Hal ini menyebabkan Salatiga mendapatkan predikat kota toleran versi Setara Institut setiap tahunnya. Juga penghargaan kepada Kota Salatiga sebagai kota dengan Kurikulum Belajar Kebhinnekaan terbaik pada tahun 2017 yang diberikan oleh Kementrian Pendidikan Nasional.

KH. Drs. Noor Rofiq selaku Ketua FKUB Kota Salatiga mengatakan bahwa Forum Umat Beragama di Salatiga tidaklah serta merta muncul karena Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor : 9 tahun 2006 dan nomor : 8 tahun 2006. Tetapi sudah lebih dulu dibentuk forum yang berisi tokoh-tokoh agama pada bulan Agustus tahun 2002 yang membicarakan keberagaman. Setelah PBM tersebut ada, FKUB diberikan SK oleh walikota pada 8 Mei 2007.

“FKUB Salatiga punya program untuk menciptakan kerukunan dimulai dari kecamatan, aktif dalam kegiatan di ruang lingkup provinsi Jawa Tengah dan ikut serta dalam kegiatan akhir tahun untuk kegiatan-kegiatan lintas iman. FKUB juga aktif melakukan sosialisasi kebhinnekaan dan lintas iman di masyarakat, bahkan kegiatan upacara bhakti sosial, kesehatan, dan tampil bersama-sama Forum Persatuan Bangsa Indonesia,” tambah Noor Rofiq.

Atas kerja FKUB Salatiga dalam mewujudkan toleransi di Salatiga, mereka kerap menerima studi lintas agama dari berbagai kota, juga luar negeri seperti dari Jerman.

Sejalan dengan FKUB, H. Taufiq Rahman selaku kepala kantor perwakilan kementerian agama Salatiga juga menyadari keberagaman masyrakat Salatiga dan masih kentalnya unsur kultural. “Salatiga memiliki rumah moderasi, yaitu rumah bersama yang menjadi tempat berkumpul dan penyelesaian jika terjadi sebuah konflik antaragama. Kebijakan Kementrian Agama menguatkan peran agama dalam menciptakan perdamaian. Pada umumnya, Kota Salatiga masih kental dengan unsur kebudayaan, jadi perlu peran agama dalam memberikan keseimbangan namun tidak bertubrukan dengan nilai-nilai budaya.”

studi banding kota toleran
Pemerintah Kota Salatiga hadir secara dari dari Kota Salatiga dalam kegiatan Studi Banding Virtual “Bersama Merawat Toleransi” (Foto: Istimewa)

Tak hanya bicara perdamaian, di Salatiga, agama juga diupayakan dalam peningkatan ekonomi dan melaksanakan penyuluhan agama dengan konteks budaya lokal. “Sebelum melakukan penyuluhan, biasanya penyuluh harus mengenali kulutur budaya lokal, dan setelah itu baru memberikan penyuluhan sesuai dengan kebudayaan popular di suatu tempat, seperti penggunaan pakaian ataupun yang lainnya,” tambah Taufiq.

Penyuluh agama dari kemenang Salatiga disebut menerapkan pendekatan budaya, sejarah, sosial, IPTEK, IMTAQ, Pendidikan dalam penyuluhan.

Dalam pemaparannya, Taufiq mengatakan bahwa Kota Salatiga ditakdirkan oleh Tuhan sebagai Kota yang multiklutural dan kota kecil yang beragam. Ciri Horizontal adalah adanya keberagaman suku, agama, dan tradisi, sedangkan ciri veritkal adalah adanya perbedaan ekonomi dan pandangan politik, sehingga memberikan ciri khusus di Kota Salatiga. Ciri itulah yang mereka Kelola dalam program-program kerja Kemenag kota Salatiga.

Selain Kemenang dan FKUB, Amin Siahaan yang merupakan Ketua Forum Persaudaraan Bangsa Indonesia (FPBI) Kota Salatiga juga membagikan peran mereka dalam melakukan mediasi antara kelompok yang berbeda. Pendekatan budaya dan kultural dalam membuka ruang-ruang perjumpaan kelompok yang berbeda pun kerap dilakukan seperti Temu Akrab etnis yang dilakukan setiap 2 tahun sekali, Gebyar Budaya Nusantara, seni budaya dan khas suatu etnis, juga berkolaborasi dan memberi dukungan kepada Mahasiswa Baru terhah Kirap Budaya, sehingga mewarnai lintas etnis di Salatiga.

Di akhir Kegiatan forum yang dihadiri oleh pemerintah kota Pontianak dan pemerintah kota Salatiga mengamini semoga kegiatan ini digunakan sebaik mungkin untuk memperkuat institusi pemerintah kota Pontianak membuat kebijakan dan praktek yang mempromosikan keberagaman dan kebhinekaan, sesuai dengan tujuan diadakannya kegiatan ini. Sehingga keberagaman di Pontianak bisa dikelola dan terwujudlah Pontianak sebagai kota yang toleran.

Pemerintah Kota Pontianak menghadiri Studi Banding Virtual (Foto: Istimewa)

Ditulis oleh : Nings Lumbantoruan