Pontianak, 25 Agustus 2022. Kota Pontianak sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Barat merupakan kota dengan penduduk yang beragam dan dibangun oleh identitas yang tidak tunggal pula. Kondisi tersebut menjadi potensi sekaligus menjadi tantangan terhadap permasalahan yang kerap memicu konflik. Ditambah pula situasi secara umum di Kalimantan Barat merupakan daerah dengan sejarah konflik yang panjang.

Analisis Kebijakan Publik dengan Perspektif Pluralisme Kewargaan di Kota Pontianak
Peserta Pers Rilis Bincang Buku Analisis Kebijakan Publik dengan Perspektif Pluralisme Kewargaan di Kota Pontianak

Berbagai upaya untuk mendorong Kota Pontianak sebagai rumah bersama dilakukan. Harapannya berbagai kelompok masyarakat yang hidup berdampingan bisa saling menghormati, bergotong royong menyikapi persoalan sosial kemasyarakatan dan saling menguatkan.

Hal inilah yang menjadi dasar Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) menginisiasi analisis kebijakan publik di Pontianak. Ningsih Sepniar Lumban Toruan dari SAKA mengatakan, riset tersebut adalah hasil membaca peraturan daerah (perda) dan peraturan walikota (perwa) yang dibedah dengan perspektif Pluralisme Kewargaan di Kota Pontianak. Di mana dalam Pluralisme Kewargaan mensyaratkan rekognisi, representasi dan redistribusi (3RE) ke pada seluruh warga neraga, yang menjadi indikator sebuah kebijakan dianggap bersifat toleran.

“Mengapa menganalisis kebijakan? Karena kami di SAKA menyadari bahwa untuk mengelola keberagaman, tidak cukup hanya melakukan pendekatan ke masyarakat. Juga harus mengupayakan advokasi kebijakan dan juga terhubung ke pemerintah sebagai pemegang mandat utama dalam penyelenggaraan toleransi.”

Riset tersebut dibukukan dan dipublikasikan. Dan ppada Kamis, 25 Agustus 2022, SAKA bekerja sama dengan Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS—AIR) mengadakan diskusi forum untuk membincang terkait hasil riset tersebut.

Hadir Ahmad Sofyan sebagai ketua LPS-AIR dan pegiat literasi di Kalbar yang kerap mengoleksi dan mengamati perjalanan penerbitan buku-buku di Kalimantan Barat menanggapi. Menurutnya buku ini mengisi kekosongan bahwa di Kalbar minim terbitan buku-buku riset. Meskipun menurut Sofyan, kekurangan dari buku ini adalah sebaiknya menerapkan trans literasi, di mana bahasanya secara teknis diubah menjadi lebih familiar untuk berbagai kalangan termasuk mahasiswa, pelajar bahkan tukang sayur, bukan hanya kalangan akademisi saja.

Sofyan menambahkan bahwa kehadiran buku ini bagi sebagian kalangan mungkin terasa lebih berat. “Karena dihadirkan berdasarkan penelitian dan diperuntukkan sebagai analisis kebijakan. Namun, menurut saya, sebagai produk literasi, buku ini sangat penting. Setidaknya ini bisa menjadi contoh baik dan mengurangi produk ‘sampah literasi’ yang marak di beberapa waktu belakangan ini. Khususnya di Kalimantan Barat.”

Peserta yang terlibat dalam diskusi turut mengamini bahwa perlunya membincang isu toleransi di Kota Pontianak. Dan dari pengamatan mereka, tindakan intoleransi yang menjadi satu di antara pemicu konflik bagaikan api dalam sekam yang bisa terbakat kapan pun terutama dalam momen-momen tertentu khususnya menjelang pemilu dan pilkada.

Peserta juga menanyakan usulan rancangan peraturan daerah tentang Penyelenggaraan Toleransi dalam Kehidupan Bermasyarakat di Kota Pontianak yang didorong oleh adanya buku analisis ini.
“Perda yang lahir karena adanya buku ini sudah masuk ke Program Pembentukan Legislasi daerah pada bulan September 2021. Dan di Bulan Februari 2022, Bapak Ahmad Sarbaeni yang menjadi ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) mengatakan perda ini masuk urutan ke-8 sebagai perda prioritas,” kata Ningsih. Pada kesempatan itu pula Ningsih mengajak seluruh peserta yang hadir dalam forum tersebut untuk bersama-sama terhubung dengan pemerintah dan mendorong perda tersebut.

Ahmad Sofyan turut mengingatkan bahwa lahirnya buku tersebut dan adanya usulan ranperda bukanlah tujuan akhir melainkan bagian dari tahapan mendorong Pontianak sebagai daerah yang aman dan damai. “Kita berharap perda usulan ini disahkan. Tetapi ketika pun, misalnya disahkan hari Senin, bukan berarti hari Rabu Pontianak akan damai. Ini baru bagian dari upaya untuk mencapai tujuan itu.” Menurutnya, buku analisis tersebut, sebagai produk kebudayaan hanya sebagai alat untuk mengadakan perbincangan publik yang mendorong kebijakan publik dan itu tugas semua kalangan.

Oleh: Nings