HAM dan Kebebasan beragama dan Berkeyakian. Kebebasan beragama merupakan salah satu isu hak asasi manusia yang paling paradoks. Kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) merupakan salah satu rumpun hak asasi yang paling fundamental, yang tidak dapat dikurangi, dibatasi, atau dilanggar dalam kondisi apapun (non derogable rights), seperti yang tertera pada pasal 4 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan UUD 1945.

Namun pada kenyataannya pembatasan hak asasi dasar ini khususnya pada kelompok agama minoritas di suatu tempat masih terus berlangsung, baik itu lewat pengekangan legal formal, maupun lewat praktek-praktek kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara dan atau masyarakat umum. Pelanggaran kebebasan beragama bagi agama di luar ‘institusi resmi’ negara kerap terjadi. Sebaliknya di negara-negara yang memiliki agama resmi negara, kelompok agama atau kepercayaan minoritas dan kaum ateis menjadi sasaran persekusi.

Kebebasan beragama dan berkeyakinan dinyatakan dalam DUHAM (1948)

Yaitu sebuah dokumen hak asasi manusia internasional tertua. Pengaturan atas kebebasan beragama atau kepercayaan lebih rinci diatur oleh Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik 1966 pada pasal 18 (ayat 1-3) dan pasal 20 (ayat 2) dan dilengkapi oleh Komentar Umum (general comment) No.22 (1933) yang dibuat oleh komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Commitee) yang isinya mengatur bahwa:

• Dengan penjelasan ini hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama ada di tingkatan baik individual maupun komunitas. Pengakuan atas hak ini bisa diklaim secara individual atau komunitas. Ini menunjukkan sulitnya mendefenisikan secara ketat apa itu agama (on all matters) tapi sekaligus menggugurkan argumen bahwa hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama bisa ditentukan oleh suatu entitas politik atau hukum, seperti pengakuan negara untuk menentukan mana agama resmi dan tidak resmi, atau suatu badan keagamaan tertentu menentukan mana agama yang benar atau sesat. Hak beragama dan berkeyakinan termasuk pula hak untuk berpindah agama atau keyakinan secara suka rela.

• Secara sosiologis dan empirik sulit mendefenisikan ‘agama’ atau kepercayaan. Bahkan agama yang dianggap terstruktur sekalipun – secara teologis, organisatoris dan administratif – bisa memiliki sub-struktur dan sub-sistem. Agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lainnya secara empirik memiliki varian yang beragam, tidak hanya menyangkut level institusi, namun juga di tingkatan teologis dan ritual.

• Hak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan juga termasuk meyakini agama tradisional atau membentuk agama baru. Selain itu paragraf ini juga menjelaskan pentingnya mencegah terjadinya diskriminasi atau permusuhan (hostility) terhadap kepercayaan atau agama minoritas. Dan sesuai dengan prinsip hukum hak asasi manusia internasional, setiap hak (di tingkatan individu) mengandaikan danya kewajiban di lain pihak, yaitu negara. Negara sebagai subjek hukum hak asasi manusia wajib memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, termasuk secara khusus terhadap masyarakat kepercayaan atau agama minoritas.

• Adanya perbedaan antara kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama- yang merupakan tingkatan abstrak – dengan hak untuk menjalankan kepercayaan atau agama yang merupakan bentuk konkrit empirik. Hak untuk meyakini suatu agama dan kepercayaan merupakan bentuk konkrit empirik. Hak untuk meyakini suatu agama dan kepercayaan merupakan hak asasi absolut dan tidak bisa dibatasi karena tidaklah mungkin suatu kerja abstraksi (berada dalam pikiran orang) bisa dikekang atau diintervensi oleh orang lain atau negara. Sementara hak untuk mengekspresikan keyakinan atau agama atau hak untuk beribadat bisa dibatasi untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

• Praktek keagamaan atau kepercayaan tidak boleh dijadikan sebuah propaganda perang, diskiminasi, permusukan, atau kekerasan yang bersifat rasial atau religius. Dan negara wajib membuat peraturan atau perundang-undangan yang melarang praktek tersebut.

Sumber : Kontras)