Tanya Jawab Ensiklopedia Muslimah Reformis
Ensiklopedia Muslimah Reformis adalah buku yang ditulis oleh Prof. Musdah Mulia. Buku dengan jumlah halaman 800 lebih ini mengundang kontroversi karena dianggap mengobrak-abrik pandangan lama terhadap banyak isu seperti gender, pendidikan, HAM, agama, perempuan yang mengambil sudut pandang perempuan, yaitu Muslimah yang sifatnya reformis.
Pada Rabu, 9 September 2020, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) bekerjasama dengan Komunitas Satu Dalam Perbedaan (SADAP) dan Yayasan Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) Pontianak menyelenggarakan diskusi bedah buku Ensiklopedia Muslimah Reformis yang ditulis oleh Prof. Musdah Mulia, yang juga sebagai pimpinan ICRP.
Kegiatan ini yang dilakukan secara daring, menghadirkan Subandri Simbolon, M.A seorang Peneliti dalam bidang keberagaman sekaligus Dosen Sekolah Tinggi Agama katolik Negeri Pontianak dan Aseanty Widya Ningsih Pahlevi yang merupakan Jurnalis dan Aktivis Perempuan sebagai narasumber dan pembedah buku ini.
Kali ini secara khusus SAKA ingin membagikan pertanyaan yang diberikan oleh para peserta dalam diskusi tersebut. Sebagai berikut :
- Ivan Aulia Rahman: Mengapa buku ini menekankan problematika perempuan? dan bagaimana pandangan pribadi terkait kekerasan hingga Asusila?
Jawaban oleh Musdah Mulia : Kenapa harus perempuan? Perubahan harus dimulai dari perempuan. Karena kalau perempuan tidak berubah, perubahan semaca apapun itu tidak banyak manfaatnya. Karena di banyak kebudayaan, perempuan itu dianggap sebagai ibu. Ibulah yang membawa rahim dan proses kehidupan manusia. Kalau perempuan tidak cerdas, visioner, tidak banyak yang bisa kita harapkan.
Saya ingat Sarinah, pengasuh Bung Karno. Dia berperan penting dalam kehidupan Bung Karno. Dalam masyarakat, di tingkat negara perempuan punya peran. Dalam hal politik, kita menginginkan kuota 30 %, tetapi tidak seperti yang kita harapkan. Parpol memanipulasi aturan ini. Kuota 30% diambil istrinya, anaknya, bukan perempuan-perempuan yang mampu menyuarakan aspirasi perempuan. Lalu terjadilah praktek oligarki.
Harapannya buku ini menggugah kesadaran perempuan sebagai warga negara untuk berprestasi, menjadi manusia yang terbaik.
- Tryles Neonnub :Bagaimana cara Bu Musdah menghadapi teman-teman Muslimah yang menanggapi buku ini? Mengingat buku ini mengubah dogma bahwa perempuan kedudukannya adalah nomor 2?
Jawaban Musdah Mulia : Hal ini harus dimulai dari pendidikan. Bagaimana kita mengajarkan anak-anak kita untuk tidak melakukan kekerasan. Dalam masyarakat kita, suami dikatakan pelindung. Saya pikir bagaimana suami melindungi istri, padahal dia bukan raksasa. Yang benar adalah kita harus saling melindungi. Istri juga harus melindungi suami.
Dalam hal berkeluarga komunikasi sangat penting. Keluarga saat ini malah curhat di medsos. Kenapa tidak diutarakan langsung? Bagaimana kita berharap politikus membangun komunikasi yang baik ke masyarakat? Ke keluarga saja tidak baik. Dan semua ini dikembalikan ke pendidikan.
Nah, bagaimana teman-teman muslim menanggapi ini? Ya macam-macam. Ada yang positif ada yang negatif. Sebagian mengatakan, buku ini lah yang kita cari, buku yang membebaskan. Dalam kitab suci, Alquran, kita dituntut untuk menggunakan akal sehat kita. Berpikir secara mendalam. Saya sebelum mengajar selalu bertanya “Apa kalian masih memiliki kesadaran kritis?” Karena kalau tidak ada, tidak ada gunanya kita belajar.
Nah ini yang perlu dalam pendidikan. Mulai dari PAUD, penting diajarkan critical thinking. Bukan menghapal. Buat saya menghapal belakangan, pertama harus membangun kesadaran kritis. Masyarakat kita beragama sekedar ritual, sekedar teks dan tidak memahami konteks. Saya mengatakan ini tentu saja respon yang kaget, marah. Saya sampai mengatakan, saya sudah mewakafkan diri saya untuk perubahan, seperti para nabi. Kita harus mengupayakan pembebasan pada pikiran yang membelenggu kemanusiaan.
- Rocynia Da Sella: Apa arti perpektif Teologi Feminis dan contohnya
Subandri Simbolon menjawab pertanyaan Rocynia Da Sella : Teologi feminis berarti pergerakan. Teologi ini sebagai anak kandung dari post modernisme untuk menentang unsur partiarkis. Misalnya orang Kristen mengatakan Allah itu Bapa. Bagi Feminis, itu tidak ada unsur feminisnya. Teologi feminis mencoba menawarkan tafsiran atas dogma teologi yang selama ini sudah ada dengan perspektif feminis yang tidak meletakkan perempuan pada kelas dua.
Tafsiran teologi harus mengakomodir perspektif perempuan. Harus ada equality atau kesetaran gender.
Contohnya, jangan melihat Allah sangat maskulin. Allah juga dilihat sebagai Maha Rahim, bukan hanya Maha Kuasa. Artinya, rahim hanya milik perempuan.
Ketika kita mengimani Allah dalam perspektif feminis, Allah tidak diimani sebagai laki-laki. No. Feminis mengatakan sumber kebenaran bukan laki-laki. Saya mengimani Allah tidak hanya Allah yang macho, yang berkumis dan berjenggot. Allah yang selalu tampak jubahnya seperti raja, tetapi Allah yang juga keibuan. Relasi perempuan dan laki-laki memang dalam perbedaan kelas, tetapi setara. Perspektif ini yang harus kita miliki.
Yang disampaikan Bu Musdah dalam buku ini bukan berarti menonjolkan perempuan yang lebih tinggi daripada laki-laki. Ini pandangan yang salah pada feminis. Pandangan feminis adalah kesetaraan gender, memiliki derajat yang sama. Di bidang apa saja? Ya apa saja. Ekonomi, sosial, budaya, agama. Yang disampaikan Bu Musdah adalah PR bersama. Jika dilihat, perempuan juga bisa menindas perempuan. Feminis itu masalah pola pikir. Feminis bukan hanya sifat perempuan tetapi juga laki-laki.
- Nings : Berapa lama menulis buku ini? Kedua, ada teori yang menyatakan bahwa dalam teori evolusi, memang perempuan akan selalu mencari Alpha Male (laki-laki yang hebat/kuat) untuk dijadikan suami. karena dari sejarahnya dan secara biologi, suatu ketika perempuan sewaktu-waktu akan tidak produktif ketika dia melahirkan dan menyusui. Mampu kah kira-kira perempuan benar-benar mandiri? Apakah oke, sebagai perempuan, kalau kita memiliki pemikiran ingin menikah karena supaya ada yang menanggung hidup kita? Bagaimana ini dalam pandangan ‘feminis’ atau agama, atau dari sudut pandang lainnya.
Tanggapan Musdah Mulia: Perempuan kan tidak mandiri ketika dia sedang haid, melakukan tugas-tugas reproduksi tidak bisa melayani suami. Kadang saya pikir, memangnya suami tidak punya perasaan? Dalam konteks seperti inilah kemanusiaan itu harus muncul. Laki-laki harus bisa membela istri. Kalau di negara-negara Skandinavia, istri yang melahirkan diberi cuti 4 bulan.
Bukan hanya istri tetapi juga suami yang harus mengurusi istri dan bayinya. Bayi itu milik bersama. Empati kemanusiaan adalah bentuk ekspresi moral dari agama yang paling dalam. Tetapi dalam kehidupan kita, empati ini yang hilang. Beragama tidak punya kemanusiaan dan empati.
Dalam Islam, perempuan yang hamil, haid, nifas, terbebas dari kewajiban beragama. Tetapi yang terjadi malah perempuan yang sedang nifas dll disebut kurang beriman. Cara membacanya tidak benar. Saya tidak solat karena haid, karena saya menjalankan kewajiban untuk tidak solat, saya mendapat pahala karena saya tidak puasa. Pandangan saya ini memang tidak popular di masyarakat dan membuat saya dimaki-maki.
Kalau Anda mengatakan perempuan tidak mandiri heran juga saya. Perempuan diciptakan dengan dignity. Kalau ada yang merasa perempuan tidak mandiri, itu akibat pendidikan dalam keluarga, dalam sekolah. Karena itu mari mendidik anak agar mandiri.
Misal kita mengatakan kalau saya tidak kawin bagaimana dong? Menikah itu tidak wajib. Menikah itu tidak menentukan keimanan seseorang. Kalau melihat sejarah sufi Islam, dia tidak menikah. Karena katanya ‘seluruh cinta saya ini sudah terpaut pada Tuhan. Memenuhi seluruh relung hati saya karena memenuhi relung hati saya’.
Menikah untuk memperkuat spiritualitas kita. Jika tidak, untuk apa? Itu bukan kewajiban. Yang mau saya garis bawahi, bagaimana agama mendidik kita untuk menghargai kemanusiaan laki-laki dan perempuan. Sebagai wujud penghormatan kita kepada Tuhan.
Pertanyaan berapa lama saya menyusun buku ini, saya lupa. Tetapi sebagian besar dari buku ini adalah tulisan dari berbagai kepentingan, seminar, diskusi. Saya kemudian mengumpulkan selama sekitar 2 tahun. 2 orang bekerja keras yaitu Ira dan suaminya, sebagai editor mengkompilasi tulisan saya.
- Iriani Saleh Busthami: Mungkin perlu sosialisasi buku ini ke pesantren yang masih mempertahankan pemikiran lama. Contoh kalau keluar harus ijin suami, harus cium tangan. Karena ustaz ini bersentuhan langsung dengan audience, jamaah, yang mendiskreditkan perempuan.
Tanggapan Musdah Mulia untuk Iriyani : Benar sekali. Bukan hanya di Islam. Di agama-agama lain juga sama. Manusia diciptakan dari asal yang sama. Saya pernah tanya Kardinal (Pejabat Senior dalam gereja Katolik Roma- ed), “Kenapa di Bibel mengatakan perempuan diciptakan dari tulag rusuk laki-laki? Jawabannya menarik. Supaya laki dan perempuan mengedepankan kasih sayang. Tulang rusuk itu dekat dengan hati. Bukan diciptakan dari tulang kepalanya Adam supa dia tidak takabur dan arogan. Bukan juga dari tulang kaki supaya diinjak-injak.”
Tapi kok pendapat ini tidak memasyarakat? Masyarakat bilang, kamu kan hanya tulang rusuk.
Yang diktanyakan ini juga membuat saya bingung. Bagaimana menjangkau ustaz-ustaz dan counter ideologi dengan membangun kesadaran kritis? Saya pikir harus melalui pendidikan. Bagaimana mengadvokasi ini dalam pendidikan supaya itu tidak terjadi? Ini tugas bersama kita.
Musdah Mulia menyimpulkan juga bahwa sangat perlu bagi para pekerja di bidang Teologi untuk membangun pandangan yang lebih manusiawi dan untuk kemaslahatan. Mengingat masyarakat Indonesia memang cenderung lebih mendengarkan tokoh agama. Tokoh agama yang dianggap sudah pasti benar.