Ruang publik harusnya bersifat inklusif, terbuka bagi semua orang, apapun identitasnya. Kalimat itu disampaikan oleh Subandri Simbolon kepada pesera pelatihan Menjadi Peer Fasilitator yang Baik pada 24/04/2021. Subandri merupakan dosen dan banyak meneliti terkait keberagaman.

Dia menjelaskan konsep ruang publik yang dipopulerkan oleh beberapa fislsuf, di antaranya Jurgen Habermas. Habermas menyatakan, selain inklusif, ruang publik juga harus memiliki sifat deliberatif. Di dalam menyampaikan ide dan gagasan, ada proses menimbang-nimbang, diskusi, debat atau musarawarah.

subandri simbolon, ruang publik adalah, 3 re, pluralisme kewargaan
Subandri Simbolon menyampaikan materi terkait ruang publik dan 3RE/ Foto: Istimewa

“Seandainya sebuah lembaga mengadakan kegiatan. Katakanlah seminar. Apa produknya? Jangan sampai hanya ide, harus ada gerakannya. Apalagi hanya sebatas kerumunan. Itu bukan sifat ruang publik.”

Hal ini disambut oleh Lena Sumbung, peserta dari PMKRI Kubu Raya. “Saya sudah empat tahun di Pontianak. Saya sering menemui kegiatan dengan embel-embel memberikan sertifikat dan makan siang, lebih banyak kegiatan yang seremonial. Jarang ditemui kegiatan yang bersifat inklusif dan deliberatif.” Lena menilai, kegiatan yang sering ia temui lebih banyak dalam bentuk sosialisasi. Di mana narasumber menyampaikan materinya dan satu dua orang perserta bertanya. Kegiatan tersebut tidak menghasilakn gerakan.

Meski demikian, Subandri mengatakan kegiatan semacam itu perlu juga diapresiasi. Pontianak yang identik dengan warung kopi kerap disebut sebagai ruang publik, tempat banyak orang bertemu. Tetapi belum tentu karena bisa saja warung kopi hanya sebatas kerumunan. Tempat orang-orang sibuk dengan gadget atau yang lainnya. Tidak ada ide yang dipertukarkan.

Ruang publik juga semestinya menjadi tempat keberagaman ide bertemu dan dikomunikasikan. Misalnya orang yang memiliki sifat toleran terhadap agama lain harus bisa berdiskusi dengan baik di ruang publik dengan mereka yang toleran.

Perdebatan ‘cebong’ dan ‘kampret’ bagi Subandri jelas saja tidak ada deliberasi. Malah menjadi ruang menyerang orang, bukan ide. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, pilar ini menjadi penopang. Jika ruang publik kacau, kultural kewargaan akan turut kacau pula. “Jika sudah begini, saya kuatir konstitusi bisa berjalan benar. Masyarakat nggak akan berkembang.”

Ruang publik akan mengakomodasi keberagaman. Karena keberagaman tidak boleh hanya sebatas disadari. Prasangka muncul karena hanya mengakui keberagaman. Ruang publik harus digunakan untk membincang keberagaman.

subandri simbolon, ruang publik adalah, 3 re, pluralisme kewargaan
Para peserta pelatihan Menjadi Fasilitator yang Baik. Foto : Istimewa

Pluralisme Kewargaan

Ruang publik yang mengakomodasi adanya keberagaman dijelaskan secara lebih mendetail oleh konsep Pluralisme kewargaan. Suatu masyarakat disebut sebagai sivikc pluralist ketika anggota-anggotanya membuang segala upaya atau niat untuk menekan atau mengurangi keragaman dan menjawab tantangan-tantangannya dengan cara yang lebih damai dan partisipatoris. Pluralisme kewargaan tercapai ketika pluralitas pengelompokkan terus tumbuh menjadi penerimaan dan pengakuan keragaman itu.
Ada tiga indikator kunci yang harus dipenuhi untuk bisa menyebut ruang publik memiliki sifat pluralisme kewargaan. Dikenal dengan konsep 3RE, yakni representasi, redisktibusi dan rekognisi. 3RE ini berlaku antarwarga negara dan juga cara negara mengatur masyarakatnya.

Rekognisi

Rekognisi atau pengakuan dan penghargaan pada yang pihak lain dan berbeda adalah dasar utama pluralisme kewargaan. Dalam hidup keseharian, ukuran rekognisi dilihat dari sejauhmana entitas-entitas yang plural dalam masyarakat menghormati dan mengakui perbedaan dan keragaman.

“Tidak hanya sebatas toleran (sekadar membiarkan yang lain hidup sendiri), tetapi juga menghargai keberadaan kelompok lain yang berbeda,” tegas Subandri.
Dalam tataran politik formal, bisa dilihat dari sejauh mana negara (pada tingkat nasional maupun lokal) menghormati dan mengakui berbagai perbedaan dan keragaman dalam masyarakat. Sejauh mana konstitusi mengekspresikan pengakuan itu, dan sejauh mana kebijakan-kebijakan negara menegaskan jaminan konstitusi tersebut? Hal ini harus dipertanyakan oleh warga negara yang aktif.

Representasi

Representasi atau keterwakilan menyangkut keterlibatan warga negara dalam proses pengambilan keputusan tentang hidup bersama, dan setelah itu diikuti dengan kontestasi (pertarungan) ide-ide yang akan dipilih melalui mekanisme pemilihan. Representasi diperlukan untuk menghadirkan aspirasi warga negara dalam ranah publik.
Representasi tidak cukup dalam institusi perwakilan seperti DPR. Karena dalam praktiknya, DPR tidak bisa mengetahui semua kebutuhan warga negara.
Sebagai contoh, kebutuhan anak-anak muda Kalbar harus disuarakan anak muda. Kebutuhan para santri dipesantren harus pula disuarakan anak pesantren sendiri, atau pihak yang dapat mewakili. Sebagai contoh, jangan sampai dibentuk sebuah peraturan daerah tentang pesantren tetapi mereka tidak terlibat merumuskannya.
“Jangan sampai terjadi tipuan dan melahirkan meme yang terkenal saat ini, yaitu Indonesia sebagai negara tipu-tipu,” ucap Subandri.

Redistribusi

Redistribusi dipahami sebagai pemerataan secara adil atas akses-akses ekonomi politik untuk seluruh warga. Di mana negara dalam politik redistribusi berkewajiban secara bijaksana mengeliminasi kewenangan khusus kelompok-kelompok pemegang kapital tertentu agar tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan redistribusi.

Subandri memberikan contoh ketika pada masa Orde Baru yang dikenal dengan Jawa sentris. Di mana Jawa menguasai Kapital. Negara harusnya hadir untuk melhat ulang dan memberikan distribusi yang adil untuk semua warga negara. Bukan malah mengambil kesempatan, untuk kepentingan politik. Apalagi sampai didesain isu etnis, dibawa ke media dan menyebabkan konflik.

Subandri kemudian mengapresiasi adanya pelatihan ini, yang jika dilihat dari tujuannya, akan menghadirkan sebuah ruang publik bernama Temu Pemuda Lintas Iman di Kalbar.

“Kalian sebagai anak-anak muda menjadi warga yang aktif, bergumul dan merayakan keberagaman itu. Tujuannya untuk mengeliminasi prasangka-prasangka buruk pada mereka yang memiliki identitas berbeda dengan kita. Mari menghadirkan ruang publik yang sivik dan pluralis,” tandasnya.

Ditulis oleh : Nings S. Lumbantoruan