Penulis: Diyon dan Siti Aminah

Sejarah konflik Sambas tidak melulu tentang darah dan dendam.  Seperti kata pepatah, “perompak bisa membakar kebun bunga, tapi ia tidak bisa menolak datangnya musim semi”. Keluarga Bapak Mukib dan Ibu Junaidah adalah satu di antara bunga harapan itu.

Pak Mukib adalah orang Madura. Istrinya, Bu Junaida orang Melayu. Mereka dahulu tinggal di Desa Pemangkat, Kabupaten Sambas. Setelah konflik antara Madura, Melayu, dan Dayak pada 1999, kini keduanya memulai hidup baru di Dusun Madani, satu di antara wilayah relokasi.

Pada waktu konflik terjadi, Ibu Junaida memilih untuk mengungsi ikut suaminya. Dia tidak rela kehilangan keluarga yang dicintai. Ibu Junaida khawatir akan kondisi dan keselamatan suami beserta anak-anaknya. Sebab pada waktu itu, muncul anggapan bahwa seorang anak tetap dianggap orang Madura jika ayahnya berasal dari etnis Madura, sekalipun istri berasal dari etnis yang berbeda.

Mertua Pak Mukib juga ikut mengungsi, menemani anak dan cucunya di penampungan. Ketika situasi sudah aman, ia kemudian kembali ke Desa Pemangkat.

Pak Mukib dan Bu Junaida membangun keluarga yang harmonis. Meskipun terkadang Bu Junaida masih mendapati prasangka buruk dari beberapa orang. Dia menepis sikap tersebut. “Semua orang itu sama. Semua orang tidak bisa dinilai hanya dari masa lalunya. Hal itu tergantung kepribadiannya masing-masing,” tutur Bu Junaidah saat ditemui di kediamannya, 15 November 2022.

“Tidak Melayu, tidak Bugis, tidak Madura maupun Dayak, semuanya sama saja. Kalau kepribadiannya buruk, tidak terdidik, ya tetap akan buruk di mata orang. Tanpa memandang etnis tertentu,” lanjutnya.

Pak Mukib juga terkadang mendapat stigma dan streotipe dari orang lain. Namun ia melakukan hal yang sama seperti Bu Junaida lakukan, Ia sama sekali tidak segan membela dan meluruskan anggapan negatif kepada etnis Melayu, Madura, maupun Dayak.

Kini usia pernikahan Pak Mukib dan Bu Junaidah telah berumur empat dekade lebih. Keduanya dikaruniai lima anak. Empat di antaranya ialah anak kandung, dan seorang anak angkat dari peranakan Bugis-Filipina.

Keterbukaan terhadap keberagaman, juga diterapkan keluarga ini dalam hal pernikahan lintas etnis. Sebagaimana halnya Suryadi, anak ketiga Pak Mukib dan Bu Junaidah, yang dapat mempersunting Intan Fransisca, seorang gadis yang belatarbelakang etnis Dayak.

Sebelumnya, saat Bapak Mukib sempat segan dan khawatir atas rencana pernikahan Suryadi dan Intan Fransisca. Mukib mengakui bahwa ia merasa segan dan takut dianggap merusak keharmonisan keluarga calon menantunya itu. Pasalnya, Intan berasal dari keluarga etnis Dayak dan penganut agama Katolik yang taat. Sedang Pak Mukib adalah penyitas konflik Sambas yang berlatar Madura. Ada kebimbangan di dalam hati Bapak Mukib, sebagai seorang ayah untuk menyampaikan niat luhurnya itu.

Keluarga Penyintas Konflik Menyemai Harapan Toleransi Lintas Etnis
Resepsi pernikahan Junaidi, anak ketiga Pak Mukib dan Bu Junaidah. Junaidi mempersunting Intan Fransisca yang belatarbelakang etnis Dayak.

Tapi kegalauan itu tidak berlangsung lama, setelah Suryadi mampu meyakinkan ayahnya. Dia menjelaskan bahwa keluarga Intan bersikap terbuka kepada siapapun. Tak tebang pilih, juga tak pilih kasih.

Akhirnya Pak Mukib beserta beberapa orang dalam rombongannya, memberanikan diri berkunjung ke rumah Intan Fransisca di Desa Gebok, Kabupaten Ketapang. Warga di daerah tersebut mayoritas adalah orang Dayak.

Keberanian itu berbuah manis. Keluarga Intan dan orang-orang di sana menyambut baik kedatangan keluarga Pak Mukib. Mereka disambut hangat dan diperlakukan dengan hormat. Bahkan ketua adat Dayak di wilayah itu menegaskan, masalah perbedaan etnis tidak menjadi hambatan meraih cinta. “Asalkan jangan pernah membuang identitas suku kita sendiri. Suku apapun itu, baik itu etnis Dayak, Melayu, Madura, Bugis, dan lainnya. Adapun perihal agama yang akan dianut, kami tidak memandang apapun agamanya. Itu adalah hak dari setiap orang tergantung keputusan anak-anak kami sendiri,” tutur Pak Mukib menirukan ucapan ketua adat tersebut.

Intan Fransisca kemudian memilih memeluk Islam sebagai kepercayaan baru. Namanya kemudian diganti menjadi Intan Nurhayati. Keluarganya menerima dan menghormati semua keputusan anak gadisnya ini.

Kini Intan Nurhayati tinggal satu atap bersama keluarga Pak Mukib dan Bu Junaidah. Ia mengaku merasa nyaman dan mendapat perlakukan baik layaknya anak sendiri.

Datangnya keluarga baru yang notabene berasal dari etnis Dayak, membuat Pak Mukib semakin memantapkan keyakinannya, bahwa perbedaan etnis bukanlah masalah. Justru sebaliknya perbedaan dapat menjadi harmoni yang indah. Saling bahu membahu demi terjalinnya ikatan persaudaraan yang kuat dan kokoh.

Dari kisah ini, penulis sangat yakin bahwa “musim semi” itu takkan lama lagi segera tiba. Benih-benih persaudaraan, perdamaian dan cinta yang ditanam oleh keluarga Pak Mukib dan Bu Junaidah akan tumbuh. Semua orang akan tersenyum bak bunga-bunga mekar di musim semi. (*)

Editor: Dian Lestari

Penulis merupakan Alumni Kelas Menulis untuk Keadilan Transisi yang diselenggarakan oleh Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) atas dukungan Global Initiative for Justice, Truth and Reconciliation (GIJTR).