Cerita Perempuan: Menghubungkan Titik Sejarah Gerakan Perempuan dari Masa ke Masa
Relasi laki-laki ke perempuan pada dasarnya adalah hubungan antara atasan dengan bawahan dan penguasa dengan yang diperintah – Aristoteles, Politik.
Kalimat tersebut ditulis oleh Aristoteles, filsuf Yunani yang hidup pada masa 384-322 SM. Aristoteles bukan satu-satunya tokoh yang memandang bahwa perempuan adalah golongan kelas dua di bawah laki-laki, dan pemikiran ini langgeng selama ribuan tahun. Pemikiran ini pula menyebabkan manusia memiliki budaya yang menyebabkan ketidakadilan dan kesenjangan antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya dalam hal akses ke ruang publik, ke pendidikan, dan memiliki skill lainnya yang tidak dimiliki perempuan.
Peringatan Hari Perempuan Internasional PontianakKesenjangan ini melahirkan banyak perlawanan dari kaum perempuan, sebagai pihak yang merasa dirugikan dalam masyarakat. Dalam sejarah yang panjang, kemudian melahirkan Hari Perempuan Internasional dirayakan setiap 8 Maret di seluruh dunia.
Hari Perempuan Internasional 2022 juga turut diperingati di Pontianak. SAKA, Gerakan Perempuan Pontianak dan Koalisi Muda Kalbar berkolaborasi mengadakan kegiatan yang bertemakan Cerita Perempuan, yang menunjukkan hubungan titik sejarah gerakan perempuan dari masa ke masa. Diadakan di Café Umeco Pontianak pada 11 Maret 2022 lalu, dihadiri sekitar 50 anak-anak muda.
Kegiatan ini bertujuan untuk menceritakan sejarah gerakan perempuan dari masa ke masa dan harapannya dapat mengajak warga Pontianak meneruskan gerakan perempuan setelah memahami alasan gerakan perempuan dilakukan pertama sekali dan perlu terus oleh generasi saat ini.
Sejarah gerakan perempuan dikategorikan menjadi 4 gelombang. 4 Gelombang ini dikisahkan oleh Andy Yentriyani, ketua Komnas Perempuan. Andy Yentriyani adalah seorang tokoh yang lahir di Pontianak dan bersama individu lainnya mendirikan Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) tahun 20014.
Selain menceritakan sejarah Gerakan perempuan, kegiatan ini juga diselingi dengan pidato para perempuan yang pernah dibacakan, mewakili pada 4 gelombang tersebut.
Empat orang perempuan di Pontianak yang membacakan pidato adalah sebagai berikut
Cristine Claudia, membacakan Pidato “Freedom or Death” (Kebebasan atau Kematian) yang oleh Emmeline Pankhurst disampaikan di Hartford, Connecticut pada 1913. Pidato ini adalah pernyataan yang berapi-api tentang pentingnya hak pilih perempuan, dan pernyataan kuatnya bahwa hak pilih harus diperjuangan sampai mati – dan memang mereka lakukan selama gerakan kekerasan di Inggris – untuk mendapatkan hak memilih.
Kristina Jeni, membacakan Pidato Ita Nadia pada ulang tahun Komnas Perempuan ke-15 untuk mengenang kembali mengapa Komnas Perempuan hadir di Indonesia.
Dean, membacakan Pidato Kawan Suharti (Wakil Ketua DPP Gerwani), yang mengisahkan penindasan pada perempuan akibat daripada krisis ekonomi yang terus-menerus mencengkeram Indonesia, hingga mengakibatkan perempuan sebagai korban pertama merajalelanya pengangguran, kemiskinan, keterbelakangan, ketidakadilan ekonomi dan sosial.
Della Anugrah, membacakan pidato yang ditulis oleh Feliani untuk Women’s March pertama di Pontianak pada 8 Maret 2018 lalu di Bundaran Untan. Pidato ini menyoroti pihak-pihak yang memiliki sentiment pada istilah feminisme, yang dianggap oleh Feliani sebagai istilah penting untuk menyuarakan pemberdayaan perempuan dan menyuarakan hak perempuan.
Andy Yentriani dalam penyampaiannya mengatakan, untuk memudahkan penulisan sejarah perempuan, maka dikategorikan dalam bentuk gelombang. Dengan begitu, kecederungannya adalah, gelombang paling besarlah yang kerap mendapatkan sorotan paling banyak. Misalnya peristiwa Suffragette di Inggris, atau dalam konteks Indonesia, dibentuknya Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan karena pecahnya peristiwa tahun 98 di Indonesia.
Andy juga menekankan bahwa Gerakan perempuan dari masa ke masa selalu memiliki konteks permasalahannya masing-masing. Sehingga aktor yang menggerakkan dan permasalahan yang dituntut juga berbeda-beda. Misalnya Gerakan Suffragette dilakukan oleh para buruh perempuan. Sedangkan gerakan-gerakan di Indonesia banyak membicarakan pendidikan untuk perempuan. Beberapa tokoh yang menyuarakan ini adalah Kartini, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis dan terus dibicarakan hingga kini.
Di tahun 2022 gerakan perempuan kembali menyuarakan perlunya melakukan pencegahan kekerasan seksual yang banyak dialami perempuan. hingga diusulkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang masih dalam proses pembahasan. Menurut Andy, dinamikan pembahasan RUU ini tidak mengalami kesuksesan terbesarnya tanpa kepedulian anak-anak muda, yang bukan hanya perempuan tetapi juga laki-laki dan nonbiner.
Baca juga: Nobar dan Diskusi Film Suffragette: Memperingati Hari Perempuan Internasional 2022 di Pontianak
Ditulis oleh: Ningsih Sepniar Lumban Toruan