Wetty Hentikan Stereotip yang Meracuni Pikirannya
Penulis: Ahmad Syafi’i & Abdur Rouf
Wetty Dame Hatnauli, guru di Kabupaten Kubu Raya, tak lagi mau membiarkan pikirannya diracuni stereotip. Dia merasakan teladan dari orang Madura yang menunjukkan perilaku baik, ramah, dan dapat dipercaya. Sangat berbeda dari stereotip selama ini ada. Wetty berupaya menularkan semangat merawat perdamaian antar-etnis dan antar-pemeluk agama.
Wetty dan keluarga biasa memanggil ART (asisten rumah tangga) di rumahnya dengan sapaan “Bibi”. Perempuan Madura itu sudah lama bekerja di rumah Wetty. Bahkan saking lamanya, Wetty tak ingat persis kapan Bibi mulai bekerja.
“Bibi sangat baik, kok. Beda ya dengan yang diceritakan orang-orang tentang orang Madura,” kata Wetty selasa 15 November 2022 di ruang kantor SMKN 2 sungai raya. Di mata Wetty, Bibi adalah orang jujur. Bibi tak pernah mengambil uang majikan.
Wetty penasaran, kenapa sikap Bibi justru berbanding terbalik dari stereotip tentang orang Madura. “Tak semua orang Madura seperti itu, Bu. Orang Madura sama seperti orang-orang (etnis) lain,” tutur Bibi saat Wetty bertanya kepadanya.
Kini Bibi tak bekerja di rumah Wetty, karena kondisi kesehatannya yang kurang prima seiring usia senja. Hubungan keluarga Wetty dan Bibi tetap terjalin baik. Pada saat Natal, Bibi selalu mengantarkan makanan kepada Wetty. Begitupun sebaliknya saat lebaran.
Bagi Wetty yang berdarah Batak-Dayak, perilaku baik Bibi menginspirasinya untuk menolak stereotip. Wetty pernah berinteraksi dengan orang Madura yang berperangai buruk. Tapi dia menganggap perilaku tersebut sebagai tindakan personal. Tidak bisa disamaratakan bahwa orang Madura semuanya seperti itu.
Hubungan harmonis dengan Bibi, diakui Wetty menjadi bekal untuknya berinteraksi dengan orang-orang Madura lainnya. Dia senang menjadi donatur ataupun memberikan dukungan moral bagi aksi-aksi sosial masyarakat di kawasan relokasi orang Madura, yang merupakan penyintas tindak kekerasan berbasis etnis di Sambas tahun 1999.
Wetty membangun hubungan baik dengan orang Madura. Seperti menghadiri undangan yang diselenggarakan orang Madura. Tidak heran jika Wetty sedikit banyak mengenal kebiasaan orang-orang Madura. “Kalau main ke rumah orang Madura, tidak diperbolehkan pulang kalau belum makan hidangan tuan rumah,” tuturnya lalu tersenyum.
Wetty sudah dua kali mengajar di wilayah relokasi. Selama 5 tahun dia bertugas di SMA 3 Dusun Zakia. Kemudian pada tahun 2019 dipindahtugaskan ke SMKN 2 Sungai Raya, Desa Mekar Sari, Dusun Madani. Wetty terlibat dalam acara Maulid Nabi, santunan untuk yatim piatu, peringatan Hari Santri, dan lain-lain.
Sebagai guru, Wetty berharap semua anak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas. Dia berpendapat bahwa pendidikan menjadi awal mula bagi anak-anak untuk menghargai keberagaman. Selain itu, penguatan nilai-nilai agama harus ditanamkan sejak dini. Dengan kolaborasi antara pendidikan formal dan spiritual, Wetty optimistis generasi berikutnya tidak akan mudah terprovokasi. Agar tidak terulang sejarah kelam tindak kekerasan antar-etnis. (*)
Wetty Dame Hatnauli bersama Pemuda di desa Madani
Editor: Dian Lestari
Penulis merupakan Alumni Kelas Menulis untuk Keadilan Transisi yang diselenggarakan oleh Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) atas dukungan Global Initiative for Justice, Truth and Reconciliation (GIJTR).