Sepakbola Merukunkan Kembali Hati Kami yang Dulu Bermusuhan
Penulis: Muhammad Kholil, Siti Amina
Dua puluh tiga tahun silam, konflik horizontal terjadi di Kabupaten Sambas. Kami harus pindah dari kampung halaman. Kami generasi kedua yang harus menanggung dampak dari tragedi tersebut. Masih ada rasa takut, trauma, dan minder untuk bersosialisasi dengan suku lain. Belum lagi stigma yang yang menambah penderitaan kami.
Kapan ketakutan ini akan hilang? Kapan kami dapat menjalin hubungan baik dengan suku lain tanpa ada rasa was-was? Kapan kami bisa kembali, atau bahkan sekadar melihat tanah kelahiran?
***
Februari tahun 2021, seorang teman mengajak saya bertanding sepak bola di Kota Singkawang. Saya memanggilnya Bang Napi. Dia lebih tua dari saya.
Bang Napi adalah pimpinan klub SAKERA di Kabupaten Kubu Raya. Semua pemain di klub ini orang Madura. Usia mereka lebih tua dibandingkan saya. Sedangkan saya dan teman-teman merupakan anggota klub SAKERA JUNIOR.
Tanpa pikir panjang, saya langsung menyambut tawaran Bang Napi. “Wah! Main ke luar kota nih. Udah ngerasa pemain hebat saja. Ditanggung transportasi pula,” ujar saya dalam hati.
Beberapa hari jelang keberangkatan, muncul rasa ingin tahu dalam benak. Saya melontarkan pertanyaan kepada Bang Napi. “Kok tumben sparring-nya ke luar kota, Bang? Biasanya kalau cuma sparring di Pontianak atau Kubu Raya.”
“Pertandingan ini memang khusus dibuat, untuk merajut kembali hubungan antar-etnis yang sempat berkonflik di tahun 1999. Lebih tepatnya etnis Melayu dan Madura,” jawabnya.
“Loh, nggak was-was kah, Bang?” saya menyahut.
“Was-was tegang tetap ada. Tapi pimpinan klub yakin bahwa tidak akan ada apa-apa, pasti aman. Paman saya itu dulunya sebelum terjadi konflik, memang teman sepermainan dengan ketua pimpinan klub di sana. Memang satu daerah dulunya.”
***
Kami berangkat pada Jumat malam menuju Singkawang. Sabtu pukul 14. 00 WIB kami memulai pertandingan pertama melawan Tim Pemuda Melayu, di lapangan Tarakan, Singkawang Tengah.
Sebelum pertandingan dimulai, kedua tim saling menukar pennant (kedua tim saling bertukar benda, sebagai simbol sportivitas). Terasa nuansa “hangat” persahabatan. Pertandingan berjalan lancar tanpa keributan. Tim kami SAKERA JUNIOR menyudahi pertandingan, dengan menorehkan kemenangan lewat skor 3-2.
Selanjutnya pada Minggu, kami bertanding melawan tim PLANET FC di lapangan BRIGIF. Kali ini lawan yang dihadapi berbeda. Pertandingan berakhir dengan skor imbang 2-2.
Setelah pertandingan selesai, kami diajak oleh salah satu pemain senior sungai bulan (Bapak Midi) ke rumahnya di Sungai Bulan, Singkawang Utara. Muncul sedikit rasa takut dalam pikiran saya. Dulu sebelum konflik tahun 1999, Bang Napi dan keluarganya bermukim di sana. Menurut Bang Napi, ketika itu situasi menjadi tidak aman. Orang yang dahulu adalah teman lalu menjadi lawan. Antar-tetangga menghujam senjata tajam.
Situasi buruk tersebut ternyata telah berubah. Saat kami tiba di kediaman sang tuan rumah, 30 pemuda dan orang tua menyambut hangat. Mereka berjajar dua baris, saling berhadapan, bersalaman dengan kami satu persatu. Sungguh penyambutan yang membuat kami bak tamu kehormatan. Dilengkapi pula dengan suguhan makanan.
Bahkan dari informasi yang saya dapat, beberapa atap rumah warga Melayu dan Madura dulunya saling bersambung. Ini menandakan betapa dekatnya mereka. Terlintas dalam pikirku “Mereka orang-orang baik. Lantas, pada konflik 23 tahun lalu, siapa pelakunya dan siapa korbannya?” Dugaan saya, mungkin ada orang yang menghasut demi kepentingan pribadi.
***
Rasa penasaran saya belum tuntas. Saya ingin tahu lebih lanjut. Bagaimana ceritanya hingga Bang Napi dan pamannya merancang pertandingan sepakbola di Singkawang antar-penyintas konflik?
Bang Napi menjelaskan, awalnya klub SAKERA ingin tur ke Singkawang. Kebetulan di sana ada ketua klub sepakbola (Planet FC). “Kami bertemu dengannya dan mengajak sparring. Tujuannya untuk menghilangkan kecanggungan. Agar tidak putus silaturahmi dan memperbaiki ingatan-ingatan negatif karena tragedi dulu,” tuturnya (13 November 2022, Wawancara langsung di rumah Hanafi oleh kedua penulis). Bang Napi menceritakan, dulu dia dan ketua klub tersebut tergabung dalam tim yang sama. Ketika terjadi konflik Melayu-Madura, Bang Napi pindah ke Kubu Raya.
Meski sudah menetap di tempat yang baru, Bang Napi sering pulang ke Singkawang saat Lebaran. “Alhamdulillah semua baik-baik saja. Bahkan mereka menyambut kami dengan baik, ramah. Jamuannya tuh memuaskan,” ujar Bang Napi.
Apakah sempat ragu pada saat diundang sparring ke sana? “Ya, pada awalnya beberapa orang dari klub SAKERA sempat ragu,” lanjut Bang Napi. Menurut dia, saat mereka dihidangkan makanan, muncul ketakutan kemungkinan diracuni. Tapi semua itu hanya prasangka buruk mereka. Ternyata semua aman-aman saja. Bahkan mereka sangat puas dengan sambutan baik.
Beberapa bulan kemudian, tim sepakbola dari Singkawang mengajak sparring klub SAKERA. Mereka bertanding di Kecamatan Kuala Dua. Klub SAKERA menyambut dan menjamu anggota klub Singkawang di rumah Pak Jeli. “Padahal di antara pihak sana yang dijamu, ada yang dulu membakar rumah Pak Jeli. Tapi tuan rumah menjamu mereka dengan baik. Bahkan orang yang dulunya membakar rumah dia itulah mengundang klub SAKERA ke sana,” papar Bang Napi.
Dia menceritakannya dengan rasa senang sekaligus keheranan. “Bayangkan bagaimana bisa terjadi persahabatan seperti sekarang, padahal tragedi yang dulu itu sangat tragis,” kata Bang Napi lalu tersenyum lebar.
Bang Napi mengenang masa kelam dulu. Orang-orang yang berkonflik, saling menjelekkan dan curiga. Meski begitu, dia mengingat kebaikan tetangganya yang merupakan orang Melayu. “Waktu tragedi terjadi, ada tetangga yang sangat baik pada kami. Bahkan sebelum kami pergi, kami menitipkan barang-barang ke dia, agar tidak ikut terbakar. Dia juga yang mengantarkan kami ke luar dari lokasi.”
Dia bersyukur kini situasi membaik. Pertandingan persahabatan sepak bola antara dua klub, menjadi momen bagi mereka memperbaiki keretakan hubungan. Mereka tidak lagi menyalahkan atau mengenang hal-hal buruk yang pernah terjadi. Kini terjalin silaturahmi dengan baik. Saling menghargai, menghormati, dan merawat perdamaian.
Pengalaman ini membuat kami lebih paham dan mengurangi rasa minder jika bertemu dengan orang beda etnis. Saya ingin terus belajar beradaptasi dengan etnis-etnis lain.
Sedikit mengutip kata penyanyi asal Inggris Jhon Lennon. “Peace is not something you wish for, it’s something you make, something you do, something you are and something you give away.” Artinya “Perdamaian bukanlah sesuatu yang kau harapkan, itu sesuatu yang kau upayakan, sesuatu yang kau lakukan, merupakan jati dirimu, dan sesuatu yang kau berikan.” (*)
Editor: Dian lestari
Penulis merupakan Alumni Kelas Menulis untuk Keadilan Transisi yang diselenggarakan oleh Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) atas dukungan Global Initiative for Justice, Truth and Reconciliation (GIJTR).